Selasa, 19 April 2011

Manusia dan Keadilan

Manusia dan Keadilan
Mengikuti berbagai isu yang berkembang di Tanah Air terkadang sangat menjenuhkan dan melelahkan. Capek! Ini karena setiap permasalahan yang muncul di negeri ini dikaitkan dengan politik.
Bahkan seperti ada skenario politik yang berada di balik setiap permasalahan apa pun.Bicara mulai kasus Gayus,Bank Century,Ahmadiyah, PSSI sampai urusan impor kedelai, kita dibuat terheran-heran sampai harus mengatakan,kok bisa begini,kok bisa begitu. Kepentingan politik itu terasa kental, karena memang ada skenario, kalau tidak datang dari pihak kekuasaan,datangnya dari kekuatan politik lain yang memang memiliki hasrat politik tertentu. Yang menyebabkan kita sering kecewa dalam mengikuti perkembangan permasalahan,karena awalnya dibuat bersemangat dengan ditemukan kasus korupsi besar di negeri ini.
Namun menyimak sampai di tengah perjalanan kasus, pikiran kita mulai bingung karena selalu muncul pertanyaan: benar gak sihkasus-kasus itu dituntaskan? Terkadang setelah membaca banyak berita, pikiran kita mempunyai kesimpulan bahwa kasus-kasus tersebut sulit dituntaskan karena ada benturan-benturan tertentu yang terkait dengan kepentingan politik.

 Dalam kasus Ahmadiyah pun kita merasakan hal yang sama. Di saat peristiwa benturan jamaah Ahmadiyah dengan kelompok tertentu sampai menewaskan sejumlah jamaah Ahmadiyah,masyarakat seperti didorong untuk mengutuk dan membenci kelompok yang melakukan penyerangan terhadap jamaah Ahmadiyah. Namun yang terjadi dalam perjalanan kasus ini,juga tidak jelas.Siapa dan kelompok mana yang mau ditangkap dan dibubarkan juga tidak clear.
Bagaimana bisa clear, menyebut nama kelompok yang melakukan penyerangan jamaah Ahmadiyah saja tidak berani. Antarlembaga pemerintah penjelasannya pun berbeda beda. Dan satu hal lagi yang perlu kita angkat ke permukaan tentang keributan menjelang kongres PSSI yang ingin memperebutkan posisi kunci di organisasi yang menaungi persepakbolaan Indonesia. Dari jauh kita didorong untuk memberikan perhatian serius terhadap PSSI karena organisasi ini harus direformasi karena Indonesia ingin sepak bolanya lebih baik dan berprestasi.Namun semangat mendorong reformasi di tubuh organisasi ini seperti tidak serius karena kelompok yang menghendaki reformasi tampak tidak maksimal.
Yang lebih tidak tegas lagi,ketika semangat reformasi disertai dengan kepentingan politik. Ini jelas membingungkan bagi publik yang didorong untuk memberi semangat terjadinya reformasi di PSSI.Hal-hal inilah yang sering mempengaruhi pola pikir kita yang menjadi tidak produktif dan tidak obyektif. Bahkan, kecenderungannya publik menjadi apatis dan apriori dengan permasalahan apa pun. Orang-orang di bawah bahkan dengan sinis bertutur: masa bodoh dengan berbagai isu atau kasus, yang penting masih bisa bekerja dengan lancar. Memang munculnya sikap apatis dan apriori seperti di atas tidak baik bagi anak bangsa.Tapi realitasnya kita memang sering dibuat serbadilematis.
Di satu sisi kita dituntut take caredengan permasalahan apa pun dengan cara memberikan kontribusi pemikiran pemecahannya,namun di sisi lain, munculnya permasalahan itu ternyata ditimbulkan oleh skenario-skenario politik yang sulit dijangkau oleh akal sehat kita. Ya inilah keanehan bangsa yang terjadi di tengah situasi yang katanya bangsa ini lebih dewasa, lebih demokratis, lebih terdidik, dan lebih transparan. Ternyata semuanya masih banyak kesemuan.















Contoh Kasus Manusia dan Keadilan
KASUS LUMPUR LAPINDO
Kalau kita lihat di gambar-gambar bergerak di televisi atau gambar diam di media cetak, api yang melalap kilang minyak di Cilacap luar biasa besar. Api tidak hanya melalap satu tangki yang bervolume ribuan galon itu, tetapi juga merambati tangki lainnya yang bersebelahan. Dalam gambar, kita lihat perbandingan dengan mobil pemadam kebakaran, sangat jauh. Sepertinya mobil pemadam kebakaran itu hanya mainan di depan tangki yang terbakar. Apalagi jika kita bandingkan dengan manusia.

Skala perbandingan itulah yang membelalakkan mata kita, bahwa diperlukan persiapan yang sangat matang untuk menangani bencana seperti ini. Sebab, bagaimanapun, kebakaran besar tersebut akan mampu menyerempet pemukiman yang ada di sekitarnya. Yang lebih membuat kita miris adalah bahwa kebakaran itu tidak segera bisa ditanggulangi. Api tetap membubung tinggi, bahkan sampai tiga hari. Bisa dibayangkan bagaimana ketakutan muncul di wilayah itu dan bagaimana rakyat sekitarnya harus mengevakuasi diri agar terhindar dari kebakaran.

Kontradiktif dengan apa yang seharusnya diperhatikan, banyak komentar yang muncul apakah minyak tersebut akan mengganggu pasokan minyak secara nasional, mengganggu perekoniman nasional? Pemerintah telah menjawab bahwa hal itu tidak akan mengganggu persoalan minyak nasional. Hemat kita, seharusnya yang lebih diperhatikan adalah sejauh mana bencana itu menimbulkan rasa khawatir dan berpotensi membahayakan penduduk di sekitar kilang minyak. Meski ada ketentuan jarak lokalisasi penduduk di sekitar kilang minyak, akan tetapi secara sosial selalu dijumpai pemukiman-pemukiman liar yang melanggar ketentuan pemukiman. Meski pemukiman tersebut melakukan pelanggaran, bagaimanapun manusia harus diselamatkan terlebih dulu. Persoalan pelanggaran yang dilakukan akibat pemukiman yang didirikan tersebut, bisa diselesaikan secara hukum.

Lebih ditekankannya perhatian pada potensi kerugian pada bidang ekonomis dibanding dengan kerugian manusiawi, harus menjadi bahan renungan di Indonesia. Hitung-hitungan yang menekankan ekonomi akan berpeluang menghilangkan pertimbangan humanis yang seharusnya diperhatikan pemerintah. Filsuf mengatakan bahwa pembentukan negara, bahkan pembentukan pemerintah, digunakan untuk melindungi warga negara. Jadi, yang dipentingkan adalah melindungi manusia, melindungi jiwa. Inilah yang utama.

Terkait dengan kegagalan kita mengatasi bencana sosial ini secara cepat dan tepat, pemerintah juga harus mempertimbangkan dan mengkaji ulang rencana pembuatan pembangkit listrik tenaga nuklir. Tidak hanya kita telah terbukti gagal dalam menangani kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo, kita juga gagal dalam manangani banjir di mana-mana. Jangan ditanya lagi soal kegempaan. Terakhir kita juga gagal memadamkan api di tangki minyak Cilacap. Kegagalan-kegagalan ini mesti menjadi pertimbangan pemerintah untuk membuat proyek listrik berpembangkit nuklir. Jika kita telah gagal menangani persoalan yang lebih kecil, kita khawatir aparat juga gagal menangani persoalan yang lebih besar.

Memang, pembangkit dengan menggunakan nuklir mampu lebih mengirit biaya. Memang juga, secara statistik berbagai negara di dunia telah mampu mengendalikan pembangkit nuklir dengan baik. Namun kejadian di Jepang haruslah menjadi catatan tersendiri. Jepang sampai sekarang tidak mampu memecahkan persoalan pembangkit nuklirnya akibat tsunami dan gempa bumi awal Maret yang lalu.

Pemerintah harus ingat, bahwa karakter alam Indonesia dengan Jepang mempunyai kemiripan. Kedua negara ini sangat rawan gempa bumi dan tsunami.

Mari kita pergunakan rasionalitas berpikir kita untuk mengukur kekuatan sendiri dalam bertindak. Kita masih mempunyai angin, panas bumi, air laut, sinar matahari, bendungan yang bisa dipakai sebagai pembangkit listrik dan sumber energi. Sebaiknya inilah yang dipertimbangkan terlebih dulu sambil mempersiapkan anak cucu kita kelak bisa bertindak lebih profesional dalam mengendalikan nuklir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar